Interaksi Mukmin dan Dunia: 5 Prinsip Batin untuk Meluruskannya
http://saifulindo.github.io/salaf/antara-mukmin-dan-dunia/
Published: Oct 21, 2025
Published: Oct 21, 2025
Rangkuman Poin Kajian Ustadz Ammi

Kita sering kali mengkaji tema-tema tentang zuhud, qanaah, dan bagaimana seorang mukmin harus bersikap terhadap dunia. Namun, seringkali kita merasa berat untuk mengamalkannya. Kita merasa lebih bahagia ketika mendapat harta daripada ketika mendapat ilmu.
Mengapa demikian? Karena interaksi kita dengan dunia lebih dominan berkaitan dengan amalan batin (suasana hati), bukan sekadar hukum halal-haram.
Para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memiliki hati terbaik. Ketika turun ayat Al-Qur'an, mereka dalam posisi "siaga amal"—siap untuk langsung diamalkan. Seperti kisah Abu Thalhah yang langsung mewakafkan kebun Bairuha, harta yang paling dicintainya, begitu mendengar ayat Lan tanalul birra hatta tunfiqu mimma tuhibbun.
Sikap kita seringkali berbeda. Kita mengkaji ilmu hanya sebatas ingin tahu (kepo) atau untuk wawasan, bukan untuk diamalkan. Untuk memperbaiki ini, berikut adalah 5 prinsip batin yang harus dibangun seorang mukmin dalam interaksinya dengan dunia.
1. Keyakinan Penuh Bahwa Rezeki Telah Ditetapkan
Prinsip pertama adalah menanamkan keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan jatah rezeki setiap hamba.
- Tujuan: Bukan untuk bermalas-malasan, tetapi untuk membangun tawakal yang kuat.
- Hasil: Jika rezeki sudah dijamin, kita tidak perlu ngoyo (terlalu berambisi) sampai melanggar aturan, menyikut kanan-kiri, atau mengambil yang haram. Semua itu tidak akan menambah jatah rezeki kita.
- Poin Penting: Kita harus membedakan antara harta (kepemilikan) dan rezeki (yang dimanfaatkan). Rezeki hakiki kita, seperti kata Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, hanyalah:
- Apa yang kita makan sampai habis.
- Apa yang kita pakai sampai rusak.
- Apa yang kita sedekahkan dan menjadi tabungan akhirat.
- Harta yang hanya tersimpan di rekening atau lemari (seperti tumpukan piring yang tak terpakai) belum tentu menjadi rezeki kita. Bahkan, harta warisan yang kita tinggalkan pun bukanlah amal kita (karena amal terputus saat mati), kecuali jika kita menjadikannya wasiat atau wakaf semasa hidup.
2. Sadar Konsekuensi Akhirat dari Urusan Dunia
Seorang mukmin wajib sadar bahwa setiap aktivitas dunia—terutama muamalah dan mencari harta—memiliki konsekuensi langsung di akhirat. Ini bukan semata domain dunia.
- Dalil: Allah mengingatkan para pedagang yang curang dalam Surah Al-Mutaffifin, "Tidakkah mereka itu yakin kalau nanti mereka akan dibangkitkan?" Allah mengaitkan urusan jual-beli (dunia) dengan hari kebangkitan (akhirat).
- Hadits: Kita akan dihisab atas harta kita dari dua sisi: "Dari mana ia dapatkan, dan untuk apa ia gunakan."
- Hasil: Kesadaran ini akan memunculkan kehati-hatian. Kita akan takut berbuat curang atau mengambil yang haram, karena sadar urusannya tidak selesai di dunia, tetapi akan ditagih di akhirat.
3. Larangan Bangga (Farah) Terhadap Dunia
Tantangan terbesar hati adalah al-farah, yaitu rasa bangga dan terlalu gembira dengan kenikmatan dunia. Inilah lawan dari zuhud.
- Contoh: Allah menasihati Qarun dengan pesan pertama:
La tafrah innallaha la yuhibbul farihin("Janganlah kau bangga; Allah tidak menyukai orang yang bangga"). - Contoh Modern: Orang yang hobinya "cek saldo". Dia merasa bahagia hanya dengan melihat deretan angka di rekeningnya, meskipun tidak ada transaksi. Ini adalah wujud dari
jama'a maalan wa 'addadah(mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya) yang dicela Allah.
4. Solusinya Adalah Zuhud (Amalan Hati)
Zuhud bukanlah soal kaya atau miskin, karena zuhud adalah amalan batin. Nabi Sulaiman adalah raja yang kaya raya, namun beliau zuhud.
- Definisi: Zuhud adalah memutus hubungan batin (hati) dengan dunia. Harta boleh ada di tangan, tapi jangan sampai masuk ke dalam hati.
- Tes Zuhud (Imam Ahmad): Seseorang bisa disebut zuhud (meski punya 1000 dinar) jika ia:
Alla yafraha idza zadat wala yahzana idza naqasat(Tidak merasa bahagia ketika hartanya bertambah, dan tidak merasa sedih ketika hartanya berkurang). - Contoh Kita Gagal Zuhud: Kita merasa kepikiran berhari-hari saat mobil tergores, piring pecah, atau cincin hilang. Ini tanda bahwa harta itu sudah masuk ke dalam hati kita.
- Analogi Terbaik (Syaikhul Islam): Jadikan harta itu laksana toilet (WC).
- Kita semua butuh toilet.
- Tapi tidak ada seorang pun yang mencintai toilet.
- Kita membutuhkannya, tapi ia tidak punya tempat spesial di hati kita. Begitulah seharusnya sikap kita terhadap dunia.
5. Ubah Potensi Menjadi Prestasi (Kemanfaatan)
Allah memberi kita berbagai kelebihan: ada yang diberi potensi pintar, ada yang kaya, ada yang punya jabatan. Namun, itu semua belum bernilai.
- Prestasi Hakiki: Prestasi seorang hamba adalah ketika ia bisa mengubah potensinya untuk memberi manfaat bagi orang lain (
anfauhum linnas). - Contoh: Para sahabat adalah manusia yang paling berprestasi. Ketika memegang harta (potensi), mereka tidak menyimpannya, melainkan mengubahnya menjadi prestasi (kemanfaatan). Mereka berlomba-lomba dalam sedekah dan wakaf.
- Ukuran Sedekah: Nilai sedekah tidak dilihat dari nominalnya, tapi dari perbandingannya dengan apa yang kita simpan. Abu Bakar memberi seluruh hartanya, itu lebih besar dari setengah harta Umar, karena yang dilihat adalah apa yang ia sisakan untuk dirinya.
- Para sahabat selalu berpikir bagaimana agar hartanya bermanfaat, bukan sekadar bagaimana mengumpulkannya.
Semoga Allah membimbing kita agar bisa menata hati kita dalam berinteraksi dengan dunia, menjadikannya di tangan, bukan di hati. Wallahu a'lam bish-shawab.