Kunci Sukses Bisnis Para Sahabat: Bukan Sekadar Materi
http://saifulindo.github.io/salaf/kunci-sukses-bisnis-para-sahabat/
Published: Dec 25, 2025
Published: Dec 25, 2025
Rangkuman Poin Kajian Ustadz Ammi Nur Baits
Kajian dirangkum dari video kajian Kunci Sukses Bisnis Para Sahabat.
Mengapa kita harus meniru bisnis para sahabat? Karena iman mereka adalah standar yang diakui Allah (QS. Al-Baqarah: 137). Jika kita mendefinisikan "sukses" hanya sebatas fasilitas hidup (AC, kendaraan cepat, teknologi), maka manusia modern jauh lebih sukses daripada Abdurrahman bin Auf.
Namun, sukses sejati versi sahabat adalah ketika bisnis tersebut tidak menjadi sumber masalah—baik di dunia (konflik, sengketa) maupun di akhirat (hisab yang berat). Berikut adalah 3 kunci utama bagaimana para sahabat membangun bisnis yang berkah:
1. Kemandirian (Anti-Benalu)
Para sahabat Muhajirin datang ke Madinah dengan kehilangan segalanya: rumah, tanah, dan harta. Namun, mental mereka bukan mental peminta-minta.
- Kisah Abdurrahman bin Auf: Ketika ditawari setengah harta dan salah satu istri oleh saudara Ansharnya (Saad bin Rabi'), beliau menolak dengan halus dan mendoakan keberkahan: "Barakallahu fiika wa ahlika".
- Mulai dari Nol: Beliau hanya meminta ditunjukkan arah pasar. Tanpa modal uang, beliau menggunakan sistem beli kredit (tempo) dan jual tunai untuk mendapatkan margin. Dalam waktu singkat, beliau mampu mandiri bahkan membayar mahar dengan emas seberat biji kurma.
- Pemberdayaan, Bukan Pemberian: Rasulullah SAW juga mengajarkan agar kaum Anshar tidak sekadar memberikan kebun kepada Muhajirin, melainkan melibatkan mereka dalam pengelolaan (bagi hasil), agar Muhajirin memiliki keahlian dan tetap mandiri.
2. Memberikan yang Terbaik (Service Excellent)
Prinsip bisnis sahabat adalah: "Cintailah untuk saudaramu apa yang kau cintai untuk dirimu sendiri." Jika kita tidak suka ditipu atau dibohongi, maka jangan lakukan itu pada pelanggan.
Sebuah kisah luar biasa datang dari sahabat Jarir bin Abdillah:
- Beliau menyuruh budaknya membeli kuda, dan terjadi kesepakatan (deal) harga 300 dirham.
- Saat melihat kudanya sangat bagus, Jarir justru menawar naik. "Ini terlalu murah kalau 300, bagaimana kalau 400? 500?" hingga akhirnya dibayar 800 dirham.
- Alasannya? Karena beliau telah berbaiat kepada Nabi SAW untuk selalu memberi nasihat (menginginkan kebaikan) bagi sesama muslim. Beliau tahu barang itu bernilai tinggi dan tidak ingin merugikan penjual yang mungkin tidak tahu harga pasar.
3. Membangun Kepercayaan dan Kepastian
Prinsip penting: "Yakin itu menenangkan, ragu itu beban batin."
Dalam bisnis, jangan biarkan ada celah keraguan (gharar) atau prasangka buruk (suuzon). Para sahabat sangat teliti dalam hal ini:
- Menghitung di Tempat: Salman Al-Farisi menghitung tulang kaki kambing (urq) yang dibawa pelayannya di tempat, bukan karena pelit, tapi untuk menutup celah setan membisikkan suuzon jika nanti jumlahnya kurang.
- Kepastian Takaran: Utsman bin Affan pernah membeli barang tanpa menakar (percaya pada supplier), namun saat menjualnya kembali, beliau merasa tidak tenang. Nabi SAW memerintahkan: "Jika engkau menyebut takaran, maka takarlah." Artinya, pastikan timbangan di depan konsumen agar transaksi menjadi halal dan menenangkan hati (tidak menduga-duga).
Catatan Fikih Muamalah
Beberapa poin tanya jawab ringkas yang relevan dengan kehidupan modern:
- Makan di Warung Tanpa Harga: Tidak termasuk gharar (penipuan) jika harga tersebut sudah maklum secara urf (adat kebiasaan) di kelas warung tersebut. Namun, bertanya harga di awal lebih utama untuk ketenangan.
- Hutang dan Riba: Jika terlanjur terjebak hutang ribawi (bank/pinjol), kewajiban utama adalah bertaubat dan melunasi pokok hutang. Bunga riba tidak boleh dibayar jika mampu dihindari (nego penghapusan bunga), dan asuransi pelunasan hutang dianggap harta majhul (tidak jelas) yang sebaiknya disalurkan untuk fasilitas umum.
- Persaingan Usaha: Rezeki tidak akan tertukar. Usaha bisa ditiru (copy), tapi rezeki tidak bisa di-paste. Tetaplah berikan pelayanan terbaik dan tawakal kepada Allah.